Malam hari di Osaka adalah saat kota menjadi hidup. Semuanya berpusat di satu area-area Dotonburi yang terkenal. Ini adalah rumah bagi kawasan perbelanjaan dan hiburan Dotonburi.
Saat menyeberang ke selatan melewati Jembatan Dotonburi, kita akan tiba di area yang dipenuhi begitu banyak toko.
Ada begitu banyak turis. Kita dapat melihat satu kios di tempat yang banyak sekali turisnya.
Jika sudah ramai begitu, maka kita akan jualan apa?
Saya pun mengunjungi salah satu restoran.
Resto ini saya temukan di Dotonburi Osaka, Jepang. Hanya jualan satu macam masakan yaitu bakmie Jepang.Ini pun hanya dua varian yaitu yang ukuran biasa dan ukuran besar.
Tempatnya sempit dan bayarnya pakai mesin seperti ATM jadi tidak ada kasir. Ini laku lho. Rahasianya hanya dua yaitu rasanya enak dan buka lebih pagi. Ketika resto-resto lain masih tutup ia sudah buka. Jadi tdak banyak pilihan di pagi hari.
Mesin menggantikan Manusia
Ketika kami jalan-jalan di kota Kyoto kami makan siang di sebuah resto cepat saji yang karyawannya hanya dua orang. Padahal ada sekitar 25 kursi di dalam resto tsb. Ternyata resto ini serba otomatis.
Mesin di gambar bawah ini yang seperti mesin ATM berfungsi sebagai mesin untuk kita memesan makanan dan juga kasir. Jadi begitu masuk pesan dulu lalu bayar dengan menggunakan mesin lalu tinggal pilih meja.
Di resto tersebut ada layar TV yang memberi tahu pesanan nomor berapa saja yang sedang disiapkan dan nomor berapa yang selesai. Bila sudah selesai maka kita tinggal mengambil sendiri pesanan tersebut. Ini memperlihatkan bila modal kita hanya “otot” maka kita bisa kehilangan pekerjaan.
Mari berlatih juga “omong” dan “otak”. Kita harus lebih unggul dari mesin. Teruslah bersemangat untuk belajar dan meningkatkan diri.
Buatan Lokal, Sebuah Kekuatan
Ketika kami berjalan kaki dalam perjalanan ke stasiun kereta api di kota Kyoto istri saya melihat sebuah toko asesoris dengan tulisan made in Japan dan hand made atau dibuat oleh tangan.
Ini membuat ia tertarik masuk dan belanja. Ketika kita berwisata di sebuah tempat kita tertarik dengan hal-hal unik yang ada di tempat tersebut. Termasuk di dalamnya kerajinan tangan (kriya) lokal.
Banyak tempat wisata menyajikan benda-benda kerajinan yang sesungguhnya bukan produk lokal tempat tersebut. Kaus T-Shirt, gantungan kunci, tempelan di kulkas dan lainnya. Belum tentu dibuatnya di kota wisata tersebut. Wisatawan sesungguhnya ingin melihat produk-produk setempat.
Apakah itu kulinernya atau kerjainan tangannya. Jadi bila rekan sekalian suatu kali buka toko atau resto di daerah wisata tulis besar-besar bahwa barang atau makanan yang dijual adalah “khas produk setempat” atau “made in desa…”
****
Catatan oleh Dr. Ir. Antonius Tanan, M.B.A.,M.Sc.,M.A :
-Pakar entrepreneurship Universitas Ciputra
-Independent Commissioner PT.Ciputra Development Tbk
-Pengasuh kelompok belajar Sekolah Kehidupan Entrepreneurship (SKE). Tulisan ini dilansir dari grup SKE.
Bacalah tentang ciputra entrepreneurship selengkapnya di
www.entrepreneurpos.com