Indoposnewsid_Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) merilis lukisan gua atau gambar cadas prasejarah melalui konten khusus yang ditayangkan di Google Arts & Culture. BRIN juga berkolaborasi dengan Griffith University dan Southern Cross University, Australia.
Lukisan cadas berusia 51.200 tahun menggambarkan tiga figur menyerupai manusia sedang berinteraksi dengan seekor babi hutan. Lokasinya terletak di gua kapur di Leang Karampuang, Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengapresiasi para peneliti atas temuannya tersebut. Hal itu sebagai bentuk tanggung jawab arkeolog dalam menemukan sejarah nenek moyang orang Indonesia. Yang kaya akan warisan sejarah dan budaya nenek moyang yang mencerminkan peradaban disaat itu.
Selain itu Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN Herry Jogaswara mengatakan perilisan gambar ini diawali dengan kerja sama riset arkeologi antara Indonesia dan Australia yang dimulai sejak 2020.
Prosesnya dilakukan setelah capture di situs gambar cadas lalu pengembangan konten digital pada platform Google Arts & Culture. Hal itu dilakukan bersama oleh tim BRIN dan Google Arts & Culture.
“Setidaknya 33 narasi tema gambar cadas prasejarah di Indonesia yang ditampilkan pada platform Google Arts & Culture. Cara itu dilakukan untuk pengelolaan sumber daya arkeologi yang berkelanjutan melalui proses digitalisasi,” kata Herry kepada wartawan di gedung BRIN Jakarta (4/7).
Menurutnya BRIN juga bergabung dalam konsorsium disebut Pusat Kolaborasi Arkeologi Sulawesi. Dengan digitalisasi membuka akses bagi masyarakat untuk pengetahuan berbagai macam bentuk ekspresi seni tertua di Indonesia dan dunia.
Manajer Hubungan Pemerintah dan Kebijakan Publik Google Indonesia Arianne Santoso mengatakan pihaknya mendukung proses riset dan digitalisasi melalui platform Google Arts & Culture.
Salah satu bentuk dukungan, yakni melalui dukungan digitalisasi warisan budaya Nusantara dengan menggunakan teknologi street view yang juga digunakan untuk Google Maps.
“Google Arts & Culture ada diseluruh dunia sudah ada 30.000 lebih institusi yang bergabung dan juga 80 negara.Untuk di Indonesia ini salah satu prioritas dengan BRIN salah satu program. Sebelumnya pernah Kementian KKP dan Kemenparekraf. Kerjasama melalui program gastronomi, tentang kuliner dan makanan di Indonesia. Termasuk kisah sejarahnya, soal bumbu rempah hingga resep masakan nusantara,” kata Arianne.
Sekaligus menjelaskan bagaimana awal mula warga menemukan rock art tersebut. Dengan kualitas gambar resolusi tinggi masyarakat dapat mengaksesnya lebih jelas dan menarik.
“Pastinya google mendukung insisitif seperti ini. Bahwa teknologi bisa dipakai untuk persentasi budaya dan sejarah Indonesia sendiri. Sebelumnya juga menampilkan soal batik, candi borobudur untuk memberikan nilai tambah bekerjasama dengan mitra,” jelasnya.
Tim penelitian ini diketuai oleh Adhi Agus Oktaviana, ahli seni cadas Indonesia dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang saat ini sedang menjalani program doktoral (PhD) di Griffith Centre for Social and Cultural Research (GCSCR).
Gunakan Metode Uranium untuk Mencari Umur Seni Cadas
Adapun metode analisis LA-U-series sendiri dikembangkan oleh Profesor Maxime Aubert, ahli arkeologi di GCSCR bersama dengan koleganya dari Southern Cross University (SCU) di Lismore, Profesor Renaud Joannes-Boyau, ahli arkeogeokimia dari Geoarchaeology and Archaeometry Research Group (GARG).
Aubert mengatakan sebelumnya telah menggunakan metode berbasis uranium untuk mencari umur seni cadas di wilayah Sulawesi dan Kalimantan. Namun teknik LA-U-series ini menghasilkan data yang lebih akurat karena mampu mendeteksi umur lapisan kalsium karbonat dengan sangat rinci hingga mendekati masa pembuatan seni hias tersebut. Penemuan ini akan merevolusi metode analisis pertanggalan seni cadas.
Sementara itu, Profesor Joannes-Boyau mengungkapkan teknik inovatif yang sedang dirintis ini memungkinkan timnya untuk membuat “peta” lapisan kalsium karbonat secara rinci. Dapat menentukan sekaligus menghindari area permukaan yang mengalami proses perubahan diagenesis secara alami. Konsekuensinya, penentuan umur seni cadas menjadi lebih mendalam dan bisa dipertanggungjawabkan.
Tim penelitian juga melakukan pertanggalan ulang pada kandungan kalsium karbonat yang melapisi lukisan gua di situs Leang Bulu’ Sipong 4 di Maros Pangkep. Lukisan gua ini menampilkan adegan sosok yang diinterpretasikan sebagai therianthropes (setengah manusia, setengah hewan) yang sedang berburu babi rusa dan anoa.
Lukisan gua ini sebelumnya sudah pernah diteliti dengan hasil pertanggalan setidaknya 44.000 tahun yang lalu. Melalui metode terbaru, hasil yang didapatkan juga cukup mengesankan karena seni hias tersebut berumur 4.000 tahun lebih tua, yaitu sekitar 48.000 tahun.
Profesor Adam Brumm dari Griffith’s Australian Research Centre for Human Evolution (ARCHE) yang turut serta dalam penelitian ini. Ia menyatakan bahwa seni hias gua dari Leang Karampuang dan Leang Bulu’ Sipong 4 memberikan pemahaman baru terhadap signifikansi budaya bercerita dalam kaitannya dengan sejarah seni.
“Perlu diingat bahwa lukisan cadas tertua yang kami temukan di Sulawesi ini terdiri atas beberapa adegan yang bisa dikenali dengan mudah, yaitu penggambaran interaksi manusia dan hewan yang bisa ditafsirkan bahwa seniman pembuatnya berusaha untuk berkomunikasi secara naratif,” kata Brumm.
Brumm juga menyatakan bahwa ini merupakan sebuah penemuan mutakhir karena pandangan akademis selama ini menunjukkan bahwa lukisan gua figurative awal hanya terdiri atas panel individual tanpa memperlihatkan adegan yang jelas. Kemunculan representasi gambar yang memiliki cerita baru muncul kemudian dalam seni hias Eropa.
Menanggapi penemuan penting ini, Kepala Pusat Riset (PR) Arkeometri BRIN, Sofwan Noerwidi mengatakan, publikasi ini adalah contoh bahwa kita harus senantiasa mengembangkan teknik dan metode penelitian agar dapat menghasilkan interpretasi hasil penelitian yang semakin tajam
Selain itu Kepala PR Arkeologi Prasejarah dan Sejarah BRIN, Irfan Mahmud berpendapat bahwa publikasi ini sangat bermakna bagi narasi kebudayaan dunia dari berbagai aspek ilmu pengetahuan, dan makin memperkuat nilai penting warisan arkeologi Maros-Pangkep sebagai kawasan yang sangat penting dilindungi dan dimanfaatkan untuk riset, pendidikan, termasuk pariwisata untuk kesejahteraan masyarakat (yer)