Ciputra Bos Media, Jawa Pos hingga Tempo

foto_tempo:ciputra (tiga dari kiri)

 

Sejarah Tempo

Pendirian majalah Tempo pada 1971 diawali perundingan enam orang wartawan. Goenawan Mohamad, Harjoko Trisnadi, Fikri Jufri, Lukman Setiawan, Usamah, dan Christianto Wibisono. Berunding dengan Ciputra selaku pendiri/ketua Yayasan Jaya Raya. Serta Eric Samola yang menjabat sebagai sekretaris.

Dilansir dari laman Tempo, rapat dilaksanakan di kantor Ciputra, di kawasan Proyek Senen. Pada hari yang sama rapat dilanjutkan malam hari sampai tuntas, di kediaman Ciputra di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Hasil perundingan itu menyepakati dibentuknya majalah Tempo yang dimodali Yayasan Jaya Raya.

Mengapa Tempo? Terdapat empat alasan mengapa nama “Tempo” dipilih sebagai nama majalah. Pertama, singkat dan bersahaja, mudah diucapkan oleh lidah Indonesia dari segala jurusan. Kedua, nama ini terdengar netral, tidak mengejutkan ataupun merangsang. Ketiga, nama ini bukan simbol suatu golongan. Dan akhirnya arti “Tempo” sederhana saja, yaitu waktu sebuah pengertian yang dengan segala variasinya lazim dipergunakan oleh banyak penerbitan jurnalistik di seluruh dunia.

Pada Februari 1971, terbit edisi perkenalan majalah Tempo tanpa tanggal dengan cover berjudul “Tragedi Minarni dan Kongres PBSI”. Selanjutnya, 6 Maret 1971 edisi perdananya terbit dengan cover berjudul “Film Indonesia: Selamat Datang, Sex.” Dalam masthead terbitan awal tertera Yayasan Jaya Raya, Jaya Press sebagai penerbit.

Tiga tahun kemudian, pada 4 Februari 1974, Yayasan Jaya Raya dan PT Pikatan mendirikan PT Grafiti Pers, dengan kepemilikan saham bersama 50:50. PT Pikatan dibentuk oleh para pendiri Tempo agar karyawan-karyawannya berkesempatan memiliki saham. Sejak itulah dalam masthead tercantum PT Grafiti Pers sebagai penerbit majalah Tempo.

Edisi-edisi awal majalah Tempo mengetengahkan artikel seni, gaya hidup, dan perilaku yang sampai pada taraf tertentu terasa segar dan baru. Meski mulai memiliki pasar, dalam perjalanannya, majalah ini menemui sejumlah tantangan.

Pada 1982, untuk pertama kalinya, majalah Tempo dibredel karena dianggap terlalu tajam mengkritik rezim Orde Baru dan kendaraan politiknya, Partai Golkar. Pembredelan itu dilakukan Pemerintah terhadap Tempo ini terkait dengan Pemilu 1982.

Pembredelan kedua terjadi pada 21 Juni 1994. Majalah Tempo dibredel pemerintah melalui Menteri Penerangan Harmoko. Majalah ini dinilai terlalu keras mengkritik Habibie serta Soeharto ihwal pembelian kapal bekas dari Jerman Timur.

 

Sejarah Jawa Pos

Jawa Pos Grup memiliki jaringan media cetak, online digital dan tv lokal tersebar diberbagai daerah di Indonesia. Selain di Jawa Timur, koran Jawa Pos juga beredar di Jakarta termasuk juga melahirkan koran harian Indo Pos.

Berikut  tulisan Goenawan Muhamad sebagai komisaris Jawa Pos (Jawa Pos, 1 Juli 2024)

***

Di Umur 75

Pada suatu hari di tahun 1982, saya menemani Pak Eric Samola ke Surabaya. Kami berdua dari Majalah Tempo. Eric Samola pemimpin umum, saya pemimpin redaksi. Manajemen Tempo telah memutuskan mengambil alih harian Djawa Post.

Koran Surabaya ini –di tahun 1982 itu sudah berumur tiga puluh tahun lebih– dalam keadaan setengah mati dan ditawarkan untuk dijual. Kami berminat. Kami berdua mewakili Tempo untuk berunding dengan The Chung Sen, pemilik harian Djawa Post.

Kami bertemu di rumah Pak The, di Pregolan. Di bagian depan rumah sederhana yang banyak dihiasi tanaman itu Pak The, berusia sekitar 80 tahun, tampak lemah dan pasif, dengan penyakit parkinson yang belum hilang. Yang aktif istrinya –dipanggil Tante The–seorang perempuan yang energetik, yang tampak telah jadi pendamping dan pengimbang suaminya. Pasangan itu tak berminat meneruskan usaha mereka lagi. Ketiga anak mereka, dua laki-laki dan satu perempuan, sudah meninggalkan rumah, hidup di London, dan tak tertarik hidup dalam bisnis media.

Djawa Post tampak seperti anak yatim piatu yang hidup letih

Tapi koran ini punya sejarah yang panjang. The Chung Sen adalah pendiri Jawa Pos. Saya tak mendalami riwayat hidup tokoh ini. Ada sebuah tulisan yang mengatakan The Chung Sen, setelah berkenalan dengan dunia film –tapi detailnya tak jelas– tertarik untuk membuat surat kabar. Ia, kemudian juga dikenal sebagai Suseno Tedjo, adalah seorang pengusaha kelahiran Bangka. Ia pernah bekerja di salah satu kantor film di Surabaya. Tugasnya: menghubungi berbagai surat kabar memasang iklan film tepat pada waktunya. Sejak itu ia merasa ingin menerbitkan sendiri korannya.

Di pertengahan tahun 1940-an, di Surabaya terbit koran berbahasa Indonesia, Pewarta Soerabaia dan Trompet Masjarakat. Ketika melihat hanya ada satu koran berbahasa Mandarin, Tsing Kwang Daily Press. The Chung Sen pun mendirikan koran Hua Chiao Hsin Wen.

Segera koran ini, disebut juga Chinese Daily News, jadi surat kabar berbahasa Tionghoa terbesar di Surabaya. Tak lama kemudian, tanggal 1 Juli 1949, ia terbitkan Djawa Post. Dalam perubahan ejaan Indonesia, koran ini jadi Jawa Post –lalu Jawa Pos.

Surabaya juga punya Surabaja Post, pertama kali terbit pada tahun 1953, didirikan oleh tokoh pers terkemuka, wartawan A. Azis, sebagai penerus surat kabar Soerabaiasch Handelsblad. Jawa Pos punya pesaing yang bagus.

Tapi nasib kedua koran ini tak bisa dikatakan stabil. Surabaya Post, yang pernah dilihat sebagai koran berwibawa dengan bisnis yang sukses –kantornya sebuah gedung megah di satu jalan utama di Surabaya– pernah berhenti terbit selama tiga bulan. Jawa Pos tidak lebih baik –hingga akhirnya The Chung Sen memutuskan untuk menjual Jawa Pos. Penerbit Tempo mengambil alihnya.

Tidak begitu mudah. Pemerintahan Orde Baru, dengan Harmoko sebagai pengontrol pers, tak mengizinkan Tempo menguasai 100%. Hanya boleh 40%. Alasan: jangan sampai ada penguasaan surat kabar oleh satu pemegang saham di Jakarta. Tapi juga Harmoko waswas jika Tempo –yang sejak mula tak begitu patuh dengan kontrol pemerintah–jadi sangat berpengaruh.

Eric Samola punya langkah yang pas untuk menghadapi hambatan ini. Ia meminta kami –teras pimpinan Tempo–membeli saham, hingga secara formal Tempo tidak menguasai Jawa Pos. Pimpinan Tempo juga tidak mengedrop ”orang Jakarta” ke Jawa Timur. Kami, dengan saran Yusril Djalinus –yang waktu itu menyupervisi operasi peliputan se-Indonesia mengangkat Dahlan Iskan untuk memimpin Jawa Pos.

Yusril orang yang tajam dalam menyeleksi tenaga jurnalis. Ia menilai Dahlan sangat tinggi: bukan saja penulis yang bagus, tapi juga pekerja keras, cepat, efektif, dan manajer biro yang berhasil. Saya sangat menyetujuinya. Nama Dahlan kami usulkan ke Pak Samola –yang kemudian bekerja, intandem, dengan Dahlan membawa Jawa Pos memasuki keberhasilan bisnis yang impresif.

Kedua tokoh ini entrepreneur yang penuh vitalitas. Tapi apa yang dicapai Jawa Pos tidak hanya secara bisnis. Saya tak pernah cawecawe secara kontinu dan telaten dalam produksi Jawa Pos, tapi merasa bersyukur bahwa koran ini –dengan segala kekurangannya– bisa jadi contoh media yang melintasi ”politik identitas” yang merusak persatuan bangsa berkali-kali.

Dahlan dengan bijaksana tak ”membersihkan” tenaga Jawa Pos lama. Dan ia dan kami beruntung, bahwa di antara yang lama itu sejak semula ada Wenny –kini komisaris utama– yang sangat bisa dipercaya, andal, dan tak kenal lelah. Didirikan oleh kalangan keturunan Tionghoa Surabaya, Jawa Pos menjadi koran yang bersemangat nasional: kalangan mana pun –etnis, agama, bahasa, daerah– bisa menganggap Jawa Pos bagian dari hidup mereka.

Semoga semua yang baik berlanjut, setelah umur 75. Semoga sukses tak menyebabkan kita terbuai sukses-sukses tanpa henti.

 

Bisnis Indonesia

Ciputra lewat Grup Ciputra dan Sukamdani via Grup Sahid menjalin mitra bisnis.Keduanya bahkan berkongsi di bidang media pada 1985 ketika mendirikan harian ekonomi Bisnis Indonesia lewat bendera PT Jurnalindo Akrasa Grafika.Termasuk Eric Samola dsn Anthony Salim (Salim Grup)

Kerjasama mereka melahirkan harian ekonomi Bisnis Indonesia yang terbit pertama kali pada 14 Desember 1985. Grup milik Bisnis Indonesia hingga kini terus berkembang menjadi sejumlah anak usaha dibidang media cetak, online digital dan percetakan.

 

Tabloid Bintang

Bintang Indonesia adalah tabloid hiburan terkemuka di Indonesia. Diterbitkan setiap minggu, mencakup semua tentang industri hiburan termasuk gosip artis, konten TV, musik, dan gaya hidup.

Aura

Aura adalah majalah mingguan wanita. Menampilkan artikel tentang minat wanita, seperti fashion, fashion show, laporan tren kecantikan, masalah dan tips kesehatan, perbaikan diri, masalah keluarga dan sebagainya. Aura juga disertai dengan buklet resep setebal 32 halaman berjudul “Lezat Sehat”.

Teen

Sebuah media untuk remaja, tagline Teen adalah “Menyenangkan menjadi remaja”. Tagline ini tercermin dari konten yang meriah dan tata letak yang penuh warna di halaman majalah. Mereka akan banyak membaca artikel tentang film hot, berbagai jenis musik dan artis muda favorit.

Home

Bintang Home adalah media mingguan yang memberikan inspirasi dan contoh berbagai rumah indah sebagai sumber ide bagi para pembacanya. Ada juga majalah Home Collection yang terbit setiap tiga bulan sekali, yang mencakup area atau tipe rumah tertentu.

 

**