Oleh : Dahlan Iskan
Kasus korupsi di PT Timah mulai naik ke level lebih tinggi.
Anda sudah tahu: pemilik Sriwijaya Air Hendry Lie menjadi tersangka ke-28. Sebelum itu, adik HL, Fandy Lingga, sudah lebih dulu berstatus tersangka.
Tentu kasus ini tidak ada hubungannya dengan Sriwijaya Air. Pemiliknya saja yang sama.
Hendry memang dikenal sebagai orang terkaya di Bangka. Sriwijaya didirikan jauh sebelum itu. Sudah sangat lama: lebih 15 tahun. Saking lamanya mungkin Anda sudah lupa kalau di langit Indonesia ada Sriwijaya Air. Yang Anda ingat mungkin justru kesulitan demi kesulitan yang menimpa Sriwijaya Air –kini tinggal mengoperasikan enam pesawat terbang.
Ternyata orang seperti Hendry Lie bisa jadi tersangka. Ini langkah baru di Kejaksaan Agung. Boleh dibilang terobosan baru.
HL bukan siapa-siapa di perusahaan yang terkait kasus korupsi timah ini. Ia bukan direktur. Bukan komisaris. Bahkan tidak tercatat pula sebagai pemegang saham. Kejaksaan Agung menyebutnya sebagai orang yang sebenarnya menerima manfaat.
Mungkin keuntungan kerja sama di perusahaan itu mengalir ke HL. Kejagung mestinya punya buktinya: tidak tercatat sebagai pemilik tapi menerima hasil.
Kalau terobosan Kejaksaan Agung seperti itu diteruskan bisa jadi penerima manfaat lainnya juga akan jadi tersangka. Pengacara terkenal seperti Boyamin sudah menuntut agar RBT segera jadi tersangka. Padahal nama RBT tidak tercatat sebagai pemilik perusahaan. Pun tidak sebagai komisaris dan direksi.
Boyamin baru pulang dari Turkiye. Sekeluarga. Ia berlebaran di Turkiye. Lalu umrah sekeluarga.
Pemilik sebenarnya yang tidak tercatat sebagai pemegang saham memang sering terjadi. Itu untuk menghindari risiko hukum. Apalagi orang seperti HL sudah sangat tua. Sakit-sakitan pula.
Ketika dipanggil Kejagung sebagai saksi, HL tidak bisa datang. Sakit. Rupanya bukti sudah sangat kuat. Belum pernah diperiksa pun langsung ditetapkan sebagai tersangka. Maka panggilan baru pun dilayangkan ke HL: langsung sebagai tersangka.
Penerima manfaat lainnya juga ramai dibicarakan di medsos. Terutama sejak Iskandar Sitorus menyebut ada jenderal bintang empat di dalamnya.
Sitorus adalah sekjen Indonesia Audit Watch. Ia memang sering melontarkan inisial orang terkenal. Terutama terkait masalah korupsi. Selalu pula terbukti jadi tersangka.
Yang terakhir ini Sitorus hanya menyebut jenderal berinisial B. Bintang empat. Tidak menyebutkan dari TNI atau Polri. Pokoknya bintang empat. Sudah purnawirawan.
Di TNI hanya ada satu jenderal bintang empat berinisial B. Kebetulan namanya hanya satu kata. Tapi Budiman jauh dari urusan izin-izin tambang seperti itu. B satunya lagi jauh dari urusan tambang timah: pun inisial B-nya di tengah. Bukan di depan.
Di Polri juga hanya ada satu jenderal yang nama depannya B. Bintang empat. Sudah purnawirawan. Bambang Hendarso Danuri. Kapolri. Yang menggantikan Jenderal Sutanto. Ia digantikan oleh Jendral Timur Pradopo.
“Apakah B yang Anda maksud itu Bambang Hendarso Danuri?” tanya saya pada Sitorus.
Sitorus belum menjawab WA saya. Sitorus belakangan terjun ke politik. Aktif di Partai Gerindra. Ia caleg DPR Gerindra dari dapil Sumut. Belum berhasil terpilih.
Tentu ada juga nama Jenderal Polisi Bimantoro. Tapi nama ini jauh dari urusan penerima manfaat sebenarnya bisnis timah di Bangka.
Kalau Kejagung berhasil dengan terobosan ”penerima manfaat sebenarnya”, maka taktik bersembunyi dari akta perusahaan tidak lagi ada gunanya. (dahlan iskan/disway)