Mengenang Rapat Raksasa IKADA

foto:Ir. Soekarno saat rapat raksasa di Lapangan IKADA 1945/foto_wikipedia

 

Indoposnewsid_Asisten Pemerintahan Sekda Provinsi DKI Jakarta, Sigit Wijatmoko bertindak sebagai inspektur pada Upacara Peringatan Hari Rapat Raksasa IKADA ke-79 tahun 2024 di Plaza Selatan Monumen Nasional, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (19/9).

Upacara itu diikuti ASN di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Upacara itu memperingati peristiwa rapat akbar di Lapangan IKADA sebulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Sigit Wijatmoko membacakan pesan dari Penjabat (Pj) Gubernur Provinsi DKI Jakarta Heru Budi Hartono. Soal semangat gotong royong masyarakat dalam membangun Jakarta menjadi lebih baik pada peringatan Rapat Raksasa Ikada ke-79 di Monas.

“Kita memperingati perjuangan dan keteguhan rakyat Indonesia dalam menyuarakan tekadnya kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan yang telah diperjuangkan para pahlawan,” kata Sigit.

Ketika Undang-undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta disahkan, Sigit Jakarta akan melepaskan statusnya sebagai Ibu Kota Negara dan bersiap menjalani peran baru menjadi pusat perekonomian nasional dan kota global. Diperlukan sinergi dan dukungan dari berbagai elemen masyarakat dibutuhkan untuk mewujudkannya.

Ia juga mengatakan peringatan Hari Rapat Raksasa Ikada ke-79 menjadi momentum bagi semua ASN untuk terus menguatkan tekad dan semangat gotong royong dalam mengoptimalkan segala potensi Kota Jakarta. Sehingga, Jakarta mampu bersaing dengan kota-kota maju lainnya di dunia.

 

Rapat Raksasa IKADA 1945

Rapat raksasa di Lapangan Ikatan Atletik Djakarta (IKADA) adalah rapat terbuka yang terjadi pada tanggal 19 September tahun 1945 dan dihadiri oleh ribuan orang rakyat Indonesia. Peristiwa ini diprakarsai oleh Komite van Aksi. Dalam peristiwa ini Presiden Sukarno memberikan pidato singkat berisi seruan kepada rakyat agar percaya kepada pemerintah Republik Indonesia.

Dilansir dari kemendikbud rapat itu menyusul proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, muncul ketidakpuasan di antara para pemuda atas kebijakan pemerintah dalam hal pengambilalihan kekuasaan dari Jepang (Muljana 2008: 48-49).

Atas dasar ketidakpuasan tersebut, maka para pemuda yang berada dalam Komite van Aksi menggalang massa untuk mengadakan rapat besar dalam rangka memperingati satu bulan kemerdekaan RI (Leirissa dan Djamhari 1993: 35).

Awalnya rapat besar ini akan diselenggarakan pada tanggal 17 September, bertepatan dengan satu bulan proklamasi kemerdekaan. Namun karena adanya ancaman dari tentara Jepang, maka rapat diundur dua hari.

Pada tanggal 19 September tentara Jepang berjaga-jaga di lokasi rapat dengan senjata lengkap, bahkan mengerahkan beberapa unit tank dalam peristiwa tersebut. Sementara itu, peserta rapat tetap berdatangan ke lapangan IKADA dan menunggu kedatangan Presiden dan Wakil Presiden.

Rakyat Indonesia yang sudah tersulut api semangat kemerdekaan tidak gentar dan mengabaikan penjagaan dari tentara Jepang. Situasi saat itu sangat tegang dan bentrokan berdarah bisa terjadi sewaktu-waktu (Leirissa dan Djamhari 1993: 36).

Pada saat yang sama, pemerintahan RI yang baru terbentuk sedang mengadakan sidang kabinet. Mendengar kabar adanya rapat raksasa di lapangan IKADA yang dijaga oleh tentara Jepang bersenjata lengkap, Sukarno dan Hatta kemudian berangkat ke lokasi rapat.

Selang beberapa saat, keduanya akhirnya tiba di Lapangan IKADA disertai beberapa menteri (Leirissa dan Djamhari 1993: 36). Sukarno memberikan pidato singkat selama lima menit yang berisi permintaan dukungan dan kepercayaan dari rakyat Indonesia.

Presiden menyatakan bahwa pemerintah sedang berusaha sebaik mungkin mempertahankan kemerdekaan, maka dari itu rakyat perlu percaya dan mendukung dengan tetap tenang namun tetap siap sedia menerima seruan dari pemerintah (Muljana 2008: 49).

Sukarno kemudian meminta peserta rapat pulang dengan tenang yang segera ditaati oleh semua peserta yang hadir (Lapian 1996: 98-99). Dengan demikian bentrokan berdarah antara rakyat dengan tentara Jepang dapat dielakkan.

Peristiwa ini merupakan titik penting dalam sejarah Indonesia. Pemerintahan RI yang berusia sangat muda mampu membuktikan wibawanya.

Dari peristiwa ini pula pihak tentara Jepang dapat melihat bahwa Sukarno dengan pengaruh dan wibawanya mampu mengendalikan gejolak rakyat Indonesia (Muljana 2008: 49). Peristiwa ini di sisi lain juga berhasil menumbuhkan kepercayaan rakyat Indonesia kepada pemerintahan RI (Leirissa dan Djamhari 1993: 37