Indoposnewsid_Maraknya gelombang Pemutusan Gelombang Kerja (PHK) di industri tekstil tak terbendung. Untuk itu Komisi VII DPR RI melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta Rabu (10/7).
RDPU tersebut mendengarkan masukan sekaligus strategi yang perlu dihadapi imbas tingginya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT).
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Bambang Heryadi menjelaskan jumlah serapan tenaga kerja di Industri TPT tersebut terus menurun. Saat ini jumlahnya mendekati 3 juta orang. Hal itu menurun dibandingkan 2019 yang pernah menyerap hingga 3,5 juta orang.
“Seiring dengan kondisi geopolitik global saat ini keberlangsungan Industri TPT masih terus menghadapi berbagai ancaman, utilisasi industri TPT di sektor hulu maupun hilir terus menurun,” kata Bambang memimpin rapat itu.
Gelombang PHK di industri TPT ini juga terkait dengan adanya ketidakefisienan terhadap produktivitas atau running capacity di bawah 50 persen. Harga beberapa komponen produksi terus meningkat ditambah lagi ketergantungan impor yang tinggi menyebabkan daya saing industri TPT semakin rendah.
“Bahkan komisi VII dapat laporan terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja di berbagai pabrik tekstil sebagai imbas dari inefisiensi produksi,” ujar Politisi Fraksi Partai Gerindra itu dalam keteranganya.
Berdasarkan data dari API, di pusat-pusat industri TPT yang berlokasi di Jawa Barat dan Jawa Tengah, total PHK terjadi sejak awal tahun hingga akhir 2023 mencapai 7.200 tenaga kerja. Pada periode januari hingga Mei 2024, korban PHK di industri TPT semakin bertambah sekitar 3.600 tenaga kerja. Sehingga total secar akeseluruhan ada sekitar 10.800 tenaga kerja yang terkena PHK.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta, hingga Ketua Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB) Nandi Herdiaman.
Ketua Umum API Jemmy Kartiwa mengungkapkan, biang kerok bergugurannya industri TPT nasional karena serbuan impor pakaian jadi asal China. Di mana berdasarkan datanya, ditemukan selisih pencatatan untuk kode HS 61, HS 62, HS 63 atau kode impor produk tekstil dan garmen yang semakin lebar setiap tahunnya.
“Selisih pencatatan yang kita tidak tahu kenapa selisihnya cukup lebar, kalau kita lihat dari deklarasi harganya itu hanya sepertiga. Ya jadi bisa kita bayangkan kenapa industri TPT satu-satu berguguran,” jelas Jemmy.
Jemmy menyebutkan utilisasi industri TPT yang kini semakin mengalami penurunan hingga di bawah 50%. Diantaranya industri serat utilisasinya 45%, industri spinning 40%, industri weaving/knitting 52%, industri finishing 55%, dan industri pakaian jadi utilisasinya 58%.