Indoposnewsid_Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri menyinggung soal reformasi hingga revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK) dan Undang-Undang Penyiaran. Ia menyampaikan itu dalam pidatonya saat pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V PDIP di Beach City International Stadium Ancol, Jakarta, Jumat (24/5/2024).
Megawati saat berpidato mengatakan bahwa prosedur revisi Undang-Undang MK tidak benar karena terkesan tiba-tiba.Dia mengaku bingung dengan revisi Undang-Undang MK yang tiba-tiba tersebut, sampai ia bertanya kepada Ketua Fraksi PDIP DPR RI sekaligus Wakil Ketua Komisi I DPR RI Utut Adianto.
“Bayangkan dong, pakai revisi Undang-Undang MK. Yang menurut saya prosedurnya saja tidak benar. Tiba-tiba, di masa reses. Saya sendiri sampai bertanya pada Pak Utut. Saya tanya beliau, Ini apaan, sih? Mbak Puan (Ketua DPR RI) lagi pergi, yang saya bilang ke Meksiko?” ucap Megawati.
Di samping itu, Presiden Kelima RI itu juga menyinggung revisi Undang-Undang Penyiaran yang dinilai melanggar esensi produk jurnalisme investigasi.
“Untuk apa ada media? Makanya saya selalu mengatakan, Hei, kamu itu ada Dewan Pers, loh. Lalu, harus mengikuti yang namanya kode etik jurnalistik. Lah, kok, enggak boleh, ya, kalau ada investigasinya? Loh, itu, kan, artinya pers itu kan apa sih, menurut saya, dia benar-benar turun ke bawah loh,” ujarnya.
Selain itu Megawati juga mengatakan soal reformasi lahir sebagai koreksi menyeluruh terhadap watak pemerintahan otoriter, untuk mewujudkan negara hukum yang demokratis. Dalam proses ini, partai politik, pers, supremasi hukum, sistem meritokrasi, dan Pemilu yang jurdil harus hadir sebagai satu ekosistem demokrasi.
Dia pun menceritakan bagaimana reformasi membuat TNI dan Polri harus berpisah untuk menciptakan lembaga yang lebih profesional. Melepaskan dwi fungsi angkatan bersenjata serta bisa bersikap netral dalam setiap pesta demokrasi.
“Dalam masa kepemimpinan saya sebagai Presiden ke-5 Republik Indonesia, reformasi telah memisahkan TNI dan POLRI. Kedua lembaga negara ini dituntut profesional, melepaskan dirinya dari Dwigungsi ABRI, dan bersikap netral dalam setiap pesta demokrasi,” tutur Megawati.
Dia pun teringat saat menerima penugasan untuk memisahkan TNI dan Polri tersebut, dimana suasana kebatinan saat itu berangkat dari kenyataan terkait bagaimana ABRI selama Orde Baru digunakan sebagai mesin politik melalui fungsi sosial politiknya.
“Pemisahan ini, jangan lupa ini keputusan MPR. TAP MPR-nya ada. Dilakukan sebagai kehendak rakyat. Dalam proses itu saya berharap agar TNI dan Polri dapat belajar dari para seniornya,” ungkap Megawati.
Dia pun menjelaskan, polisi harus bisa belajar dari Panglima Besar Jenderal Sudirman yang disebutnya sangat sederhana sekali. Kemudian ada sosok seperti Oerip Sumohardjo, Gatot Subroto dan lainnya.
“Menurut saya mereka orang yang punya karakter,” kata Megawati.
Sementara di Polri ada sosok Jenderal Pol Hoegeng yang juga sederhana. Di mana dia mengenal kepribadiannya.
“Kapan polisi seperti Pak Hoegeng lagi ya?,” tanya Megawati.
Dia pun menceritakan bagaimana pernah melihat Hoegeng berpakaian lengkap polisi dengan bintang jenderalnya, tapi masih menggunakan sepeda.
“Om ngapain naik sepeda, orang pakaian jenderal nanti diomongin orang. Loh ini namanya jenderal merakyat,” cerita Megawati.
Namun menurutnya, kondisi ideal yang dituju itu kini malah terancam. Yakni saat ada indikasi kuat intimidasi oleh aparat ke sejumlah pihak. Bahkan sampai TNI dan Polri dibawa lagi ke politik praktis.
“Sebagaimana kita rasakan dalam pilpres yang baru saja berlalu. Saya itu sedihnya gitu, saya ini presiden ketika pemilu langsung pertama dan berhasil. Sekarang pemilunya langsung tapi kok jadi abu-abu,” kata Megawati.